“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya … Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
“Dunia ini adalah perhiasan dan
sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shaleh.” (Rasulullah SAW)
“Segala sesuatu ada penegurnya, dan
penegur hati adalah rasa malu!” (Rasulullah SAW)
“Hilangnya rasa malu perempuan zaman
sekarang adalah salah satu sumber kerusakan moral masyarakat, termasuk dalam
masyarakat Muslim.” (Dina Katresna Gusti)
___________________
Mengapa perempuan Muslim harus menutup auratnya?
Karena wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi
dan kalau tidak melaksanakan berdosa? Benar, tapi mari kita kesampingkanlah
dulu alasan perintah ini.
Melaksanakan keharusan karena dasarnya perintah
menunjukkan kesadaran diri yang rendah. Mari kita mendasarkan pada kesadaran
diri saja, mari memahaminya dengan akal sehat saja. Akal sehat tidak pernah
bertentangan dengan agama. Bila kata akal sehat benar maka benarlah perintah
agama, pantaslah Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya. Kesadaran seperti ini akan
lebih kuat menancap dalam hati dibandingkan yang dasarnya karena perintah.
Kita akan lebih kuat melaksanakan sesuatu bila sudah
sadar bahwa itu memang keharusan. Seorang anak akan rajin belajar dengan
sendirinya bila menyadari bahwa belajar itu penting karena akan menentukan masa
depannya sendiri, tanpa harus disuruh-suruh. Seorang perempun Muslim yang sudah
menutup aurat dengan benar dan konsisten itu karena ada kesadaran dalam
dirinya. Sementara yang belum juga karena belum adanya kesadaran dalam dirinya.
Bila diri belum sadar, walaupun ceramah didengarkan setiap hari, walaupun ayat
Al-Qur’an dibacakan ratusan kali, tetap saja seseorang tidak akan tergerak
melaksanakan sebuah keharusan.
Menutup aurat sesungguhnya adalah persoalan memuliakan
harga diri perempuan. Dalam Islam, perempuan itu makhluk yang mulia dan
dimuliakan. Dengan menutup aurat, agama bermaksud menjaga harga diri, martabat
dan kehormatannya.
Ilustrasi yang paling tepat mengibaratkan perempuan
Muslim adalah perhiasan atau barang mahal. Barang mahal memiliki ciri-ciri: (1)
dijual di toko berkelas, (2) disimpan di etalase yang hanya bisa dipandang
dibalik kaca, (3) disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh isinya, (4) tidak
bisa dicoba dulu, (5) harganya mahal dengan jaminan memuaskan, dan (6) bergaransi.
Kebalikan dari barang mahal adalah barang murah. Ciri-cirinya: (1) adanya di
toko murah, di emperan atau di pasar, (2) tidak disegel, (3) diobral, (4) boleh
dicoba, bebas disentuh-sentuh, dipegang-pegang, dicoba berulang kali oleh
banyak orang, (5) setelah dicoba boleh tidak jadi dibeli, (6) tidak ada
garansi. Islam memperlakukan perempuan persis seperti barang mahal
tersebut.
Diibaratkan dua jenis barang tadi, “toko berkelas”
adalah keluarga Muslim yang bermartabat yang taat pada agama; “disegel, tidak
bisa dibuka dan disentuh” adalah prinsip dibalik busana Muslimahnya; “tidak
bisa dicoba dulu” adalah prinsip menjaga kehormatan dengan tidak bisa
bermesraan dan menggaulinya tanpa menikahinya dulu; “harganya mahal” adalah
pembelinya harus laki-laki yang juga mahal (akhlaknya terjaga dan
kepribadiannya terpuji). Laki-laki murahan tidak akan sanggup membeli perempuan
mahal karena tidak akan berani, segan, malu mendapatkannya dan merasa dirinya
tidak seimbang; “bergaransi” adalah orisinial, dijamin masih gadis dan belum
disentuh laki-laki lain.
Jelas, menutup aurat adalah menjaga diri, mensegel
diri, menghormati diri, memuliakan diri. Perempuan yang menutup auratnya dengan
benar dan akhlaknya terjaga, adalah barang mahal yang tersimpan dalam etalase,
terjaga dalam sebuah kotak yang tidak bisa dibuka, tersegel, tidak bisa
disentuh dan harganya mahal. Sebaliknya, perempuan yang membuka auratnya
(betis, paha, lengan, rambut, leher dan dada, apalagi lebih dari itu) adalah
“barang obralan” yang murah, tidak perlu repot-repot ingin membukanya karena ia
sudah membukanya sendiri, silahkan bebas menatapnya bahkan menyentuh-nyentuhnya
(dalam kebebasan pergaulan), “merasakannya” (dalam kemesraan pacaran) dan
menikmatinya dengan berzina yang sekarang sudah umum dari anak SMP, SMA,
mahasiswa hingga yang sudah bersuami. Kalau sudah tidak suka lagi atau tidak
cocok, boleh tidak jadi memilikinya. Jadilah, ia barang bekas alias sampah.
Barang bekas tentu tidak berkualitas, murah, karena sudah dipakai orang.
Mengapa perempuan yang seharusnya mahal menjadi murah?
Kata Nabi, karena hilangnya rasa malu: “Al-hayu-u minal iman” (malu itu
sebagian dari iman). “Iman itu ada tujuh puluh cabang dan malu adalah salah
satunya” (HR. Muslim). “Segala sesuatu ada penegurnya (penjaganya), dan
penegur hati adalah rasa malu!” Sangat menyedihkan, bila dulu perempuan
malu kelihatan auratnya, sekarang malah bangga mempertontonkannya. Maka berbaju
ketat menjadi mode, bercelana pendek berarti gaul, dan menonjolkan payudara
adalah kebanggaan. Rasa malu hilang dari perasaan perempuan. Bila perempuan
sudah kehilangan rasa malu, itu berarti kehancuran diri, keluarga, masyarakat
dan negara. Maka benarlah, “perempuan membuka auratnya dalam pergaulan
sosial adalah salah satu sumber kerusakan moral seksual masyarakat, termasuk
dalam masyarakat Muslim.” Dan iblis pun pernah berkata: “Perempuan
adalah alat senjataku yang paling ampuh untuk menyesatkan anak adam. Ia seperti
anak panah, sekali kulepaskan dari busurnya, jarang meleset!”
Sehubungan dengan ilustrasi barang mahal tadi, sering
muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:
(1) Bagaimana dengan perempuan yang berkerudung
menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas pacaran, bermesraan dan
banyak disentuh-sentuh apalagi sudah tidak perawan? Ia
adalah “barang mahal” yang palsu, aslinya murah bungkusnya pun murah,
kerudungnya hanya tren, mode atau ikut-ikutan sehingga gampang dibuka dan
dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri.
(2) Bagaimana dengan perempuan yang merasa tidak perlu
menutup aurat yang penting bisa menjaga diri sehingga tetap menganggap dirinya
perempuan terhormat? Itu hanya alasan belum bisa
taat pada agama. Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal
yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah
nilainya dari barang mahal yang tidak diobral.
(3) Bagaimana dengan perempuan yang mengatakan: “Ah,
yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, gak
berkudung tapi punya prinsip”? Itu artinya
menutupi kesalahannya dengan kesalahan yang lain. “Berkerudung tapi kelakuannya
parah” adalah salah, “mendingan begini gak berkerudung tapi punya prinsip” juga
salah. Jadi, ia lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan yang
lain.
(4) Bagaimana dengan perempuan (juga laki-laki) yang
berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan logika dan pengetahuan
Islamnya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak perlu? Menutup aurat adalah perintah Allah yang nash-nya sangat
jelas dalam Al-Qur’an, tak bisa ditawar-tawar lagi seperti dalam dua ayat di
atas. Apapun argumennya, kalau ia laki-laki, ia sedang memaksakan keinginannya
merendahkan kaum perempuan menjadi barang murah atau murahan. Kalau ia adalah
perempuan, ia sedang memperkosa dirinya dan kaumnya agar harganya murah dan
murahan.
(5) Bagaimana dengan pemikir, ulama bahkan ahli tafsir
yang mengatakan menutup aurat seluruh badan itu tidak perlu, karena pengertian
“sebenarnya” tentang aurat (ditinjau dari bahasa Arab, ulumul Qur’an, ilmu
tafsir, ilmu hadits, sejarah dsb) bukanlah yang secara konvensional difahami
selama ini yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan dampal tangan? Apapun argumennya, seluas apapun ilmunya, ia sedang
melegitimasi penolakannya pada perintah Tuhan dan tuntunan Nabi dengan
pikirannya berdasarkan hawa nafsu ilmu agamanya (ini paling berat
pertanggungjawabannya di akhirat kelak). Ingat, ilmu yang tidak bermanfaat
adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kesadaran malah menjadi penolakan dan
pembantahan pada perintah Tuhan sendiri.
(6) Karena masih ada sebagian
“orang pinter” dan “ahli agama” yang memperdebatkan, bagaimana sebenarnya
jawaban pasti batas-batas aurat wanita? Jawabannya:
yang diperintahkan Allah untuk ditutup saat shalat menyembah-Nya. Itulah
batasan aurat yang pasti!!
Perintah agama begitu masuk akal, rasional dan sangat
jelas untuk memuliakan kaum perempuan. Menghadapi perintah Tuhan hanya satu: “Sami’na
wa atha’na!” (Kami dengar dan kami taat) bukan dengan diskusi dan analisis.
Ilustrasi-ilustrasi di atas hanya untuk menguatkan bahwa perintah agama
sebenarnya berlandaskan akal sehat agar manusia mampu menangkap kebenaran,
menyadarinya dan melaksanakannya. Tapi, tentu saja, apakah ingin menjadi
perempuan mahal atau perempuan murah berpulang pada diri masing-masing.
Silahkan memilihnya sendiri. Bebas-bebas saja kok. Mau sadar atau tidak kitalah
yang menentukan!! Mau selamat atau celaka kelak di akhirat kitalah yang
menanggungnya.
Mengapa manusia banyak yang merasa nyaman dalam kesalahan
dan ketaksadaran? Karena Tuhan tidak langsung menghukum setiap dosa dan
pelanggaran. Dia masih memberikan waktu kepada kita untuk berfikir, sadar dan
berubah. Itulah sifat Ar-Rahman dan ar-Rahimnya Allah, kasih sayang Allah yang
tiada tara pada hamba-hamba-Nya sebelum celaka di akhirat kelak. Masihkan kita
akan menyia-nyiakan kesempatan padahal hidup hanya satu kali? Terserah Anda
kalau masih berani. Wallahu ‘alam!!
Silahkan di share, dicopas, dibagikan
sebanyak-banyaknya untuk menabung amal …!!
cr: moeflich.wordpress.com
No comments:
Post a Comment