Monday, 16 March 2015

Perempuan Murah, Perempuan Mahal: Filosofi Menutup Aurat dalam Agama



“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya …  Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shaleh.” (Rasulullah SAW)
“Segala sesuatu ada penegurnya, dan penegur hati adalah rasa malu!” (Rasulullah SAW)
“Hilangnya rasa malu perempuan zaman sekarang adalah salah satu sumber kerusakan moral masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.” (Dina Katresna Gusti)
___________________

Mengapa perempuan Muslim harus menutup auratnya? Karena wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi dan kalau tidak melaksanakan berdosa? Benar, tapi mari kita kesampingkanlah dulu alasan perintah ini.
Melaksanakan keharusan karena dasarnya perintah menunjukkan kesadaran diri yang rendah. Mari kita mendasarkan pada kesadaran diri saja, mari memahaminya dengan akal sehat saja. Akal sehat tidak pernah bertentangan dengan agama. Bila kata akal sehat benar maka benarlah perintah agama, pantaslah Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya. Kesadaran seperti ini akan lebih kuat menancap dalam hati dibandingkan yang dasarnya karena perintah.

Kita akan lebih kuat melaksanakan sesuatu bila sudah sadar bahwa itu memang keharusan. Seorang anak akan rajin belajar dengan sendirinya bila menyadari bahwa belajar itu penting karena akan menentukan masa depannya sendiri, tanpa harus disuruh-suruh. Seorang perempun Muslim yang sudah menutup aurat dengan benar dan konsisten itu karena ada kesadaran dalam dirinya. Sementara yang belum juga karena belum adanya kesadaran dalam dirinya. Bila diri belum sadar, walaupun ceramah didengarkan setiap hari, walaupun ayat Al-Qur’an dibacakan ratusan kali, tetap saja seseorang tidak akan tergerak melaksanakan sebuah keharusan.
Menutup aurat sesungguhnya adalah persoalan memuliakan harga diri perempuan. Dalam Islam, perempuan itu makhluk yang mulia dan dimuliakan. Dengan menutup aurat, agama bermaksud menjaga harga diri, martabat dan kehormatannya.

Ilustrasi yang paling tepat mengibaratkan perempuan Muslim adalah perhiasan atau barang mahal. Barang mahal memiliki ciri-ciri: (1) dijual di toko berkelas, (2) disimpan di etalase yang hanya bisa dipandang dibalik kaca, (3) disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh isinya, (4) tidak bisa dicoba dulu, (5) harganya mahal dengan jaminan memuaskan, dan (6) bergaransi. Kebalikan dari barang mahal adalah barang murah. Ciri-cirinya: (1) adanya di toko murah, di emperan atau di pasar, (2) tidak disegel, (3) diobral, (4) boleh dicoba, bebas disentuh-sentuh, dipegang-pegang, dicoba berulang kali oleh banyak orang, (5) setelah dicoba boleh tidak jadi dibeli, (6) tidak ada garansi. Islam memperlakukan perempuan persis seperti barang mahal tersebut.
Diibaratkan dua jenis barang tadi, “toko berkelas” adalah keluarga Muslim yang bermartabat yang taat pada agama; “disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh” adalah prinsip dibalik busana Muslimahnya; “tidak bisa dicoba dulu” adalah prinsip menjaga kehormatan dengan tidak bisa bermesraan dan menggaulinya tanpa menikahinya dulu; “harganya mahal” adalah pembelinya harus laki-laki yang juga mahal (akhlaknya terjaga dan kepribadiannya terpuji). Laki-laki murahan tidak akan sanggup membeli perempuan mahal karena tidak akan berani, segan, malu mendapatkannya dan merasa dirinya tidak seimbang; “bergaransi” adalah orisinial, dijamin masih gadis dan belum disentuh laki-laki lain.

Jelas, menutup aurat adalah menjaga diri, mensegel diri, menghormati diri, memuliakan diri. Perempuan yang menutup auratnya dengan benar dan akhlaknya terjaga, adalah barang mahal yang tersimpan dalam etalase, terjaga dalam sebuah kotak yang tidak bisa dibuka, tersegel, tidak bisa disentuh dan harganya mahal. Sebaliknya, perempuan yang membuka auratnya (betis, paha, lengan, rambut, leher dan dada, apalagi lebih dari itu) adalah “barang obralan” yang murah, tidak perlu repot-repot ingin membukanya karena ia sudah membukanya sendiri, silahkan bebas menatapnya bahkan menyentuh-nyentuhnya (dalam kebebasan pergaulan),  “merasakannya” (dalam kemesraan pacaran) dan menikmatinya dengan berzina yang sekarang sudah umum dari anak SMP, SMA, mahasiswa hingga yang sudah bersuami. Kalau sudah tidak suka lagi atau tidak cocok, boleh tidak jadi memilikinya. Jadilah, ia barang bekas alias sampah. Barang bekas tentu tidak berkualitas, murah, karena sudah dipakai orang.

Mengapa perempuan yang seharusnya mahal menjadi murah? Kata Nabi, karena hilangnya rasa malu: “Al-hayu-u minal iman” (malu itu sebagian dari iman). “Iman itu ada tujuh puluh cabang dan malu adalah salah satunya” (HR. Muslim). “Segala sesuatu ada penegurnya (penjaganya), dan penegur hati adalah rasa malu!” Sangat menyedihkan, bila dulu perempuan malu kelihatan auratnya, sekarang malah bangga mempertontonkannya. Maka berbaju ketat menjadi mode, bercelana pendek berarti gaul, dan menonjolkan payudara adalah kebanggaan. Rasa malu hilang dari perasaan perempuan. Bila perempuan sudah kehilangan rasa malu, itu berarti kehancuran diri, keluarga, masyarakat dan negara. Maka benarlah, “perempuan membuka auratnya dalam pergaulan sosial adalah salah satu sumber kerusakan moral seksual masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.” Dan iblis pun pernah berkata: “Perempuan adalah alat senjataku yang paling ampuh untuk menyesatkan anak adam. Ia seperti anak panah, sekali kulepaskan dari busurnya, jarang meleset!”
Sehubungan dengan ilustrasi barang mahal tadi, sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:

(1) Bagaimana dengan perempuan yang berkerudung menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas pacaran, bermesraan dan banyak disentuh-sentuh apalagi sudah tidak perawan? Ia adalah “barang mahal” yang palsu, aslinya murah bungkusnya pun murah, kerudungnya hanya tren, mode atau ikut-ikutan sehingga gampang dibuka dan dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri.

(2) Bagaimana dengan perempuan yang merasa tidak perlu menutup aurat yang penting bisa menjaga diri sehingga tetap menganggap dirinya perempuan terhormat? Itu hanya alasan belum bisa taat pada agama. Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang mahal yang tidak diobral.

(3) Bagaimana dengan perempuan yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, gak berkudung tapi punya prinsip”? Itu artinya menutupi kesalahannya dengan kesalahan yang lain. “Berkerudung tapi kelakuannya parah” adalah salah, “mendingan begini gak berkerudung tapi punya prinsip” juga salah. Jadi, ia lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan yang lain.

(4) Bagaimana dengan perempuan (juga laki-laki) yang berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan logika dan pengetahuan Islamnya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak perlu? Menutup aurat adalah perintah Allah yang nash-nya sangat jelas dalam Al-Qur’an, tak bisa ditawar-tawar lagi seperti dalam dua ayat di atas. Apapun argumennya, kalau ia laki-laki, ia sedang memaksakan keinginannya merendahkan kaum perempuan menjadi barang murah atau murahan. Kalau ia adalah perempuan, ia sedang memperkosa dirinya dan kaumnya agar harganya murah dan murahan.

(5) Bagaimana dengan pemikir, ulama bahkan ahli tafsir yang mengatakan menutup aurat seluruh badan itu tidak perlu, karena pengertian “sebenarnya” tentang aurat (ditinjau dari bahasa Arab, ulumul Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah dsb) bukanlah yang secara konvensional difahami selama ini yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan dampal tangan? Apapun argumennya, seluas apapun ilmunya, ia sedang melegitimasi penolakannya pada perintah Tuhan dan tuntunan Nabi dengan pikirannya berdasarkan hawa nafsu ilmu agamanya (ini paling berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak). Ingat, ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kesadaran malah menjadi penolakan dan pembantahan pada perintah Tuhan sendiri.

(6) Karena masih ada sebagian “orang pinter” dan “ahli agama” yang memperdebatkan, bagaimana sebenarnya jawaban pasti batas-batas aurat wanita? Jawabannya: yang diperintahkan Allah untuk ditutup saat shalat menyembah-Nya. Itulah batasan aurat yang pasti!!

Perintah agama begitu masuk akal, rasional dan sangat jelas untuk memuliakan kaum perempuan. Menghadapi perintah Tuhan hanya satu: “Sami’na wa atha’na!” (Kami dengar dan kami taat) bukan dengan diskusi dan analisis. Ilustrasi-ilustrasi di atas hanya untuk menguatkan bahwa perintah agama sebenarnya berlandaskan akal sehat agar manusia mampu menangkap kebenaran, menyadarinya dan melaksanakannya. Tapi, tentu saja, apakah ingin menjadi perempuan mahal atau perempuan murah berpulang pada diri masing-masing. Silahkan memilihnya sendiri. Bebas-bebas saja kok. Mau sadar atau tidak kitalah yang menentukan!! Mau selamat atau celaka kelak di akhirat kitalah yang menanggungnya.

Mengapa manusia banyak yang merasa nyaman dalam kesalahan dan ketaksadaran? Karena Tuhan tidak langsung menghukum setiap dosa dan pelanggaran. Dia masih memberikan waktu kepada kita untuk berfikir, sadar dan berubah. Itulah sifat Ar-Rahman dan ar-Rahimnya Allah, kasih sayang Allah yang tiada tara pada hamba-hamba-Nya sebelum celaka di akhirat kelak. Masihkan kita akan menyia-nyiakan kesempatan padahal hidup hanya satu kali? Terserah Anda kalau masih berani. Wallahu ‘alam!!

Silahkan di share, dicopas, dibagikan sebanyak-banyaknya untuk menabung amal …!!

cr: moeflich.wordpress.com

No comments:

Post a Comment