Saudaraku semuanya, marilah dalam kesempatan ini, kita
melihat musim capres dan dukungan pada capres kita dari sisi lain. Ya, dari
sisi yang mungkin tidak dipikirkan orang dan kita semua. Kita sediakan waktu
beberapa menit saja untuk membaca tulisan pendek ini. Mudah-mudahan ada
manfaatnya.
Sudah seberapa besarkah energi kita memikirkan,
mengkampanyekan, mempromosikan, mendukung, membela capres pilihan kita? Kita
tidak enak, marah, tersinggung karena capres pilihan kita diejek, dilecehkan,
dihina dan direndahkan. Kita kesal dan marah. Kita pun balik menyerang dengan
mencari-cari kesalahan capres yang lain, lalu kita bikin status dan menyerang
mereka juga. Kita juga habiskan energi besar dalam debat kusir saling menyerang
dan membela. Bahkan pilpres sudah selesai pun, kita terus saja membuang-buang
energi kiat membela, mempromosikan dan menyerang capres lain.
Sebenarnya, jiwa kita lelah tapi kita tak peduli,
karena kita gak enak dan menyenangkan kalau sudah membela atau menyerang. Kita
puas bila nafsu kita sudah kita muncratkan. Tetapi, siapakah capres pilihan kita
itu? Yang kita dukung dengan segenap jiwa dan emosi kita itu? Jawaban pastinya,
tidak kenal, jauh dan dia pun tidak mengenal kita. Bila dia jadi presiden, kita
tidak dapat apa-apa selain hanya rasa senang yang semu saja. Cari makan, kerja,
cari duit, tetap saja kita sendiri yang mengerjakannya. Masalah-masalah kita,
tetap saja kita sendiri yang menghadapinya. Capres yang kita bela dengan emosi
kita itu, tetap jauh dan tak kenal, bahkan hingga nanti selesai masa
jabatannya.
Bila energi begitu besar, emosi begitu meluap untuk
membela capres kita, pertanyaannya, sudah begitukan kita ke orang tua sendiri
yang melahirkan, mengurus dan membesarkan kita? Sudahkah kita memperhatikan ibu
kita seperti kita sangat memperhatikan capres yang gak kenal itu? Bila setiap
hari kita memikirkan capres pujaan, sudahkah kita setiap hari memikirkan ibu
yang melahirkan dan membersarkan dengan darah dan keringatnya?
Bila jauh, kita di kota, ibu-bapak di kampung,
seringkah kita mengingatnya? Menanyakan kabarnya? Menanyakan kesehatannya? Atau
seringnya lupa dan jarang mengingat dan menghubunginya? Ibu kita orang cerdas,
ia faham dengan kesibukan kita. Yang diharapkannya dari kita sederhana, hanya
ingatan dan sapaan. Tapi, sudahkah kita memenuhi kesederhanaan harapannya itu?
Lalu, siapa yang sebenarnya sudah berjasa pada kita
hingga kita sudah seperti sekarang ini?
Mungkin ibu sedang rindu atau mengkhawatirkan keadaan
kita, sudahkah kita menyapanya? Mungkin ibu di rumah ada masalah dan kesulitan,
sudahkah kita menanyakannya dan menawarkan bantuan bahkan jaminan? Seringkah
kita memperhatikan kebutuhannya? Mungkin ibu kita sedang ada kebutuhan tapi
sedang kekurangan, tapi enggan mengatakannya karena tak mau mengganggu rumah
tangga kita, kagok dengan suami atau istri kita. Jauh bukan alasan karena
setiap orang kini punya hape, dan cape bukan alasan dibanding lelahnya ibu dulu
mengurus dan membesarkan kita.
Tak ada waktukah kita sekadar meluangkan beberapa
menit dan menelpon: “Bu, apa kabaar …? Ibu Sehaat ..? Maafkan anakmu yang lalai
ini ya Bu, yang jarang mengingat dan memperhatikan Ibu. Maafkan Bu Yaa … Ibu
yang sehat yaa … Ibu jangan terlalu cape yaa … Jaga kesehatan. Saya disini
selalu mendo’akan Ibu dan Ibu juga do’akan saya ya Bu! Maafkan belum bisa
sering menengok Ibuu..!” Dengan lirih, air matanya pun menetes bahagia. Dia
berbisik kepada kekasihnya dia atas sajadahnya: “Yaa Allah .., alhamdulillaah
…, anakku, walaupun dia sibuk dengan pekerjaannya, berusaha tak melupakanku,
menyempatkan untuk menyapaku. Demi Engkau ya Allah, sayangilah dia, lancarkan
urusannya, berkahilah keluarganya, ampunilah dosa-dosanya dan selamatkan dari
siksa api nerakamu! Dan aku yakin, Engkau mengabulkan do’aku karena aku ibunya,
telah ridha kepadanya.”
Do’a ibu yang dijamin mustajab itu, tak berjarak waktu.
Ia melesat ke langit, menggoncangkan jagat raya, menggetarkan Arsy-Nya Allah.
Lalu Tuhan pun memerintahkan malaikat rahmat-Nya: “Turun engkau ke bumi. Sirami
anak itu dengan rahmat-Ku, perlancar rezekinya, mudahkan urusannnya, dan
kabarkan kepadanya telah Kuampuni dosa-dosanya sebagaimana dilirihkan ibunya
kepada-Ku!”
Apakah itu hal yang mustahil? Bukankah ridha Allah
bergantung ridha orang tua? Artinya sikap Allah kepada kita sangat tergantung
sikap orang tua pada kita. Menyenangkannya berarti menyenangkan Allah,
menyakiti hatinya sudah pasti dan pasti menyakiti Allah.
Berbahagialah mereka yang selama musim pilpres hingga
hari ini, orang tuanya, ibu-bapaknya, lebih diperhatikan ketimbang capresnya
yang gak kenal sama sekali itu, yang tak pernah memberi apapun pada kita itu.
Dan segera sadarlah, mereka yang selama ini menghabiskan energinya dipakai
membela carpres kesukaannya, dengan segala emosinya, sementara orang tuanya
diabaikan dan dilupakannya, padahal do’anya terus mengalir mendo’akan kita
tanpa pamrih di setiap sujudnya di atas sajadahnya. Ia menjerit dengan
tenaganya yang sudah payah, agar kita, anaknya yang sering melupakannya, agar
sukses dan selamat dunia akhirat!!
cr: moeflich.wordpress.com
No comments:
Post a Comment