Monday, 16 March 2015

Abdur Raheem Green: Tertohok Pertanyaan Sederhana, Menghantarkannya pada Islam


Namanya sekarang Abdurraheem Green. Bahkan orang menaruh kata Syeikh di depan namanya. Dia anak pejabat kolonial Inggris di Tanzania. Waktu kecil sang ayah memasukannya ke sekolah gereja di Bologna, dia ber‘sekolah pondok’ di situ sampai remaja. Keluar dari sana dengan kesadaran seorang Kristen yang saleh. Berkulit putih, bertampang ala pemusik rock, cukup ‘manusiawi’ kalau perasaan superioritas kulit putihnya muncul ketika berhadapan dengan orang Asia atau orang ‘dunia ketiga’.

Suatu hari, ketika hendak ‘memberadabkan’ seorang pemuda Mesir ke jalan Yesus, di tengah pembicaraan, si pemuda Mesir bertanya:

“Do you believe that Jesus is God?”
“Yes!” jawab si George [waktu itu namanya George Anthony]
“Do you believe that Jesus died in the cross?” tanya si Mesir lagi.
“…..”

Setelah dialog itu, hatinya tak pernah tenang. “Serasa ditonjok Mike Tyson tepat di batang hidungku,” kenangnya suatu saat. Mulai timbul perasaan telah sekian lamanya diindoktrinasi oleh ajaran yang tak masuk di akal. Gelisah.

Singkat kata, ia tak percaya Kristus lagi. Kristen tak memberinya kepuasan akal. Lalu ia melihat kehidupan spiritual di Timur yang serba tentram dan tenang. Ia pergi ke India, menjadi pengikut Budha.

Tapi tak lama.
Karena sang Budha memandang hidup seluruhnya penderitaan. Hidup bahagia nanti masanya, di Nirwana, setelah manusia berhasil memurnikan diri melaui perih dan pedih. Untuk bisa mencapai Nirwana, manusia harus menderita, melenyapkan egonya. Dengan pandangan ini, harapan untuk hidup bahagia di dunia sirna sudah.
Mana mungkin dahaga jiwa terbasuh bila selama hidupnya manusia adalah bagian dari penderitaan? Pemain inti dalam kemalangan?

Ia pun meninggalkan jalan Budha. Kemana lagi? Ah, capek ngikuti orang, kenapa tak bikin ajaran sendiri saja? Toh semua nabi dan pendeta manusia juga? Dia pun jadi nabi untuk dirinya sendiri. Agama sendiri.

Tapi kegelisahan jiwa tak juga hilang. Pertanyaan paling mengganggu adalah: “Hidup ini untuk apa?”

Dia campakkan agama buatannya sendiri itu, sembari menyumpah: “Hell with these all things! Maybe there’s no meaning to life!”

Sekarang, yang penting, bagaimana hidup sesenang mungkin. Titik. Itulah makna hidup. Senang. Bahagia. Dan alat paling masuk akal dan realistis untuk kesenangan adalah uang. Oke, cari uang sebanyak-banyaknya!

Caranya? Yang bekerja keras! Lihat di Amerika, ada orang-orang yang begitu kaya, tapi itu hasil kerja ¾ hidupnya. Itulah American dream. Makin besar kekayaan yang diangankan, makin keras kerja yang diperlukan. Berarti orang hanya bisa senang kalau sudah berumur. Nengok ke Jepang, apa lagi, kerja keras sampai mampus. Apa artinya hidup kalau lebih dari separuhnya harus dipakai untuk kerja keras? Cuma beda sedikit dangan ajaran sang Budha.

“Then I see the Saudi Arabians..” katanya. “Mereka cuma leha-leha di atas unta, mengucapkan Allahu akbar, Alhamdulillah..uang mengalir terus…”

“Kok mereka bisa begitu? Coba kuperiksa ajaran agamanya,” kenangnya lagi.
Lalu ia mencari al-Qur’an, ‘kitab orang-orang Arab’, dan membacanya dengan kepenasaranan yang tinggi. Ia pertama kali membacanya di atas kereta api, sebagai seorang petualang tanpa agama.

Meski ia hanya membaca terjemahan Inggrisnya, suntuk jiwanya mulai terlipur, kata demi kata. Dahaga akal dan rasa perlahan berganti sejuk dari tetes demi tetes ayat al-Qur’an.

“Jika di dunia ini ada sebuah buku yang ditulis oleh Tuhan, maka inilah dia,” kenangnya.
***
Sekarang, dia dikenal sebagai international speaker for Islam; memenuhi undangan kemana-mana; berbicara tentang berbagai topik. Namun yang paling diminati jama’ah adalah perjalanannya menuju Islam. Aku sangat menikmati pengajian-pengajiannya di youtube.

Tak mudah jadi penyebar Islam di negara Barat. Di Inggris, negerinya, dia dicitrakan sebagai ‘agen’ radikalisme Islam. Media nyaris tak pernah mencitrakan dia apa adanya, selalu ‘dimiringkan’ ke fanatisme dan radikalisme.

Tapi ceramah-cermahnya tak mengesankan itu sedikit pun. Kepada para muallaf yang meminta nasihatnya, dia selalu menggaris bawahi pentingnya tetap bersikap hormat orang tua masing-masing, meski sudah berbeda keyakinan, tentu dengan merujuk ke ayat al-qur’an dan hadits.

“Saya selalu mencari cara yang paling baik untuk tetap menuruti dan mencintai Bapak saya. Meski dalam banyak hal saya tak berkenan. Tapi begitu dia meminta saya untuk melakukan yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, atau meminta saya untuk meninggalkan apa yang diwajibkan Allah dan rasul-Nya, saya akan bilang: “Dad, sorry. This is the limit.”

Dia sudah mengislamkan banyak sesama bule, yang menemukan gambaran Islam yang ‘sebenarnya’ dari ceramah-ceramahnya. Dan ini membuat aku iri.

Namun, meskipun ingin, dia belum bisa mengislamkan ayahnya, yang selalu menolak sarannya masuk Islam.

Aku ingin sangat mendatangkannya ke sini, ke Indonesia. Mungkin pengetahuan keislamannya tak terlalu istimewa bagi kawan-kawan di sini, tapi perspektifnya menarik. Lalu setelah berunding mentah dengan beberapa kawan, kukirimi dia email apakah dia bisa datang kalau kami undang. Tak sampai 2 jam dia sudah membalas:
Assalamu’alaykum

May Allah bless you for your efforts.
I might be available in March. Our bookings manager will give you more details Inshallah.
Yours in Islam
Abdurraheem Green

Beberapa hari lalu, ayahandanya meninggal. Aku tahu karena dia men-tag video tentang wafatnya sang ayah. Di video itu, Abdurraheem Green sedang membimbing ayahandanya mengucapkan syahadat saat sakaratul maut. Dalam syakaratul maut, ayahnya mengikut kata demi kata:
“Laa..” bimbing Green
“Lll..laa”  ayah mengikuti
“Ilaaha..”
“Ill..l..laha”
“Illallah”
“Ill..llaa lah..”

Kudukku merona dan kulitku merinding. Subhanallah, selama 20 tahun ayahnya selalu menolak. Kini dia berhasil menyampaikan hidayah Allah kepada ayahandanya, di detik-detik terakhir hidup sang ayah. Ya, setelah menebarkan hidayah ke banyak sesama.

Dan aku terdiam, merasa amat kecil, rendah..apa yang telah kuperbuat?


cr: moeflich.wordpress.com


No comments:

Post a Comment