Namanya sekarang
Abdurraheem Green. Bahkan orang menaruh kata Syeikh di depan namanya. Dia anak
pejabat kolonial Inggris di Tanzania. Waktu kecil sang ayah memasukannya ke
sekolah gereja di Bologna, dia ber‘sekolah pondok’ di situ sampai remaja.
Keluar dari sana dengan kesadaran seorang Kristen yang saleh. Berkulit putih,
bertampang ala pemusik rock, cukup ‘manusiawi’ kalau perasaan superioritas
kulit putihnya muncul ketika berhadapan dengan orang Asia atau orang ‘dunia
ketiga’.
Suatu hari, ketika hendak ‘memberadabkan’ seorang
pemuda Mesir ke jalan Yesus, di tengah pembicaraan, si pemuda Mesir bertanya:
“Do you believe that Jesus is God?”
“Yes!” jawab si George [waktu itu namanya George Anthony]
“Do you believe that Jesus died in the cross?” tanya si Mesir lagi.
“…..”
“Yes!” jawab si George [waktu itu namanya George Anthony]
“Do you believe that Jesus died in the cross?” tanya si Mesir lagi.
“…..”
Setelah dialog itu, hatinya tak pernah tenang. “Serasa
ditonjok Mike Tyson tepat di batang hidungku,” kenangnya suatu saat. Mulai
timbul perasaan telah sekian lamanya diindoktrinasi oleh ajaran yang tak masuk
di akal. Gelisah.
Singkat kata, ia tak percaya Kristus lagi. Kristen tak
memberinya kepuasan akal. Lalu ia melihat kehidupan spiritual di Timur yang
serba tentram dan tenang. Ia pergi ke India, menjadi pengikut Budha.
Tapi tak lama.
Karena sang Budha memandang hidup seluruhnya
penderitaan. Hidup bahagia nanti masanya, di Nirwana, setelah manusia berhasil
memurnikan diri melaui perih dan pedih. Untuk bisa mencapai Nirwana, manusia
harus menderita, melenyapkan egonya. Dengan pandangan ini, harapan untuk hidup
bahagia di dunia sirna sudah.
Mana mungkin dahaga jiwa terbasuh bila selama hidupnya
manusia adalah bagian dari penderitaan? Pemain inti dalam kemalangan?
Ia pun meninggalkan jalan Budha. Kemana lagi? Ah,
capek ngikuti orang, kenapa tak bikin ajaran sendiri saja? Toh semua nabi dan
pendeta manusia juga? Dia pun jadi nabi untuk dirinya sendiri. Agama sendiri.
Tapi kegelisahan jiwa tak juga hilang. Pertanyaan
paling mengganggu adalah: “Hidup ini untuk apa?”
Dia campakkan agama buatannya sendiri itu, sembari menyumpah: “Hell with these all things! Maybe there’s no meaning to life!”
Sekarang, yang penting, bagaimana hidup sesenang
mungkin. Titik. Itulah makna hidup. Senang. Bahagia. Dan alat paling masuk akal
dan realistis untuk kesenangan adalah uang. Oke, cari uang sebanyak-banyaknya!
Caranya? Yang bekerja keras! Lihat di Amerika, ada
orang-orang yang begitu kaya, tapi itu hasil kerja ¾ hidupnya. Itulah American
dream. Makin besar kekayaan yang diangankan, makin keras kerja yang diperlukan.
Berarti orang hanya bisa senang kalau sudah berumur. Nengok ke Jepang, apa
lagi, kerja keras sampai mampus. Apa artinya hidup kalau lebih dari separuhnya
harus dipakai untuk kerja keras? Cuma beda sedikit dangan ajaran sang Budha.
“Then I see the Saudi Arabians..” katanya. “Mereka
cuma leha-leha di atas unta, mengucapkan Allahu akbar, Alhamdulillah..uang
mengalir terus…”
“Kok mereka bisa begitu? Coba kuperiksa ajaran
agamanya,” kenangnya lagi.
Lalu ia mencari al-Qur’an, ‘kitab orang-orang Arab’,
dan membacanya dengan kepenasaranan yang tinggi. Ia pertama kali membacanya di
atas kereta api, sebagai seorang petualang tanpa agama.
Meski ia hanya membaca terjemahan Inggrisnya, suntuk jiwanya mulai terlipur, kata demi kata. Dahaga akal dan rasa perlahan berganti sejuk dari tetes demi tetes ayat al-Qur’an.
“Jika di dunia ini ada sebuah buku yang ditulis oleh
Tuhan, maka inilah dia,” kenangnya.
***
Sekarang, dia dikenal sebagai international speaker for Islam; memenuhi undangan kemana-mana; berbicara tentang berbagai topik. Namun yang paling diminati jama’ah adalah perjalanannya menuju Islam. Aku sangat menikmati pengajian-pengajiannya di youtube.
Sekarang, dia dikenal sebagai international speaker for Islam; memenuhi undangan kemana-mana; berbicara tentang berbagai topik. Namun yang paling diminati jama’ah adalah perjalanannya menuju Islam. Aku sangat menikmati pengajian-pengajiannya di youtube.
Tak mudah jadi penyebar Islam di negara Barat. Di
Inggris, negerinya, dia dicitrakan sebagai ‘agen’ radikalisme Islam. Media
nyaris tak pernah mencitrakan dia apa adanya, selalu ‘dimiringkan’ ke fanatisme
dan radikalisme.
Tapi ceramah-cermahnya tak mengesankan itu sedikit
pun. Kepada para muallaf yang meminta nasihatnya, dia selalu menggaris bawahi
pentingnya tetap bersikap hormat orang tua masing-masing, meski sudah berbeda
keyakinan, tentu dengan merujuk ke ayat al-qur’an dan hadits.
“Saya selalu mencari cara yang paling baik untuk tetap
menuruti dan mencintai Bapak saya. Meski dalam banyak hal saya tak berkenan.
Tapi begitu dia meminta saya untuk melakukan yang diharamkan Allah dan
rasul-Nya, atau meminta saya untuk meninggalkan apa yang diwajibkan Allah dan
rasul-Nya, saya akan bilang: “Dad, sorry. This is the limit.”
Dia sudah mengislamkan banyak sesama bule, yang
menemukan gambaran Islam yang ‘sebenarnya’ dari ceramah-ceramahnya. Dan ini
membuat aku iri.
Namun, meskipun ingin, dia belum bisa mengislamkan
ayahnya, yang selalu menolak sarannya masuk Islam.
Aku ingin sangat mendatangkannya ke sini, ke
Indonesia. Mungkin pengetahuan keislamannya tak terlalu istimewa bagi
kawan-kawan di sini, tapi perspektifnya menarik. Lalu setelah berunding mentah
dengan beberapa kawan, kukirimi dia email apakah dia bisa datang kalau kami
undang. Tak sampai 2 jam dia sudah membalas:
Assalamu’alaykum
May Allah bless you for your efforts.
I might be available in March. Our bookings manager will give you more details Inshallah.
I might be available in March. Our bookings manager will give you more details Inshallah.
Yours in Islam
Abdurraheem Green
Abdurraheem Green
Beberapa hari lalu, ayahandanya meninggal. Aku tahu
karena dia men-tag video tentang wafatnya sang ayah. Di video itu, Abdurraheem
Green sedang membimbing ayahandanya mengucapkan syahadat saat sakaratul maut.
Dalam syakaratul maut, ayahnya mengikut kata demi kata:
“Laa..” bimbing Green
“Lll..laa” ayah mengikuti
“Ilaaha..”
“Ill..l..laha”
“Illallah”
“Ill..llaa lah..”
“Lll..laa” ayah mengikuti
“Ilaaha..”
“Ill..l..laha”
“Illallah”
“Ill..llaa lah..”
Kudukku merona dan kulitku merinding. Subhanallah,
selama 20 tahun ayahnya selalu menolak. Kini dia berhasil menyampaikan hidayah
Allah kepada ayahandanya, di detik-detik terakhir hidup sang ayah. Ya, setelah
menebarkan hidayah ke banyak sesama.
Dan aku terdiam, merasa amat kecil, rendah..apa yang
telah kuperbuat?
cr: moeflich.wordpress.com
No comments:
Post a Comment