Wednesday, 11 March 2015

BUDAYA MENYONTEK


Budaya menyontek sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja di kalangan pelajar Indonesia masa kini, bahkan telah menjadi keharusan. Menyontek pada dasarnya adalah perilaku berbuat curang dengan cara melihat jawaban teman atau “copas“ istilahnya sekarang. Baik dalam mengerjakan tugas, maupun pada saat ujian. Mereka tidak lagi peduli akan nilai-nilai kejujuran yang sedari kecil diterapkan kepada mereka. Tak lagi peduli akan kejujuran dalam belajar atau mengerjakan tugas. Seakan-akan pulang-pergi sekolah setiap hari hanya menjadi rutinitas untuk mencari nilai, bukan lagi untuk mencari ilmu. Menyontek kini sudah menjadi “budaya“ yang mendarah daging karena memang ya menurut mereka jika tidak menyontek nilai akan jelek. Padahal terkadang, walaupun kita menyontek pun nilai tetap jelek-jelek juga. 

Menyontek telah menjadi budaya di kalangan pelajar Indonesia karena beberapa faktor, faktor utamanya adalah karena kurangnya percaya diri mereka dalam mengerjakan soal, dan kemalasan mereka untuk belajar dan membaca. Kurangnya percaya diri karena mereka tidak yakin dengan jawabannya sendiri, mereka lebih memilih menggunakan jawaban temannya yang dianggap “pintar“ daripada menggunakan jawabannya sendiri, padahal belum tentu jawaban temannya itu benar. Dan apa penyebab mereka malas belajar dan membaca? Globalisasi memegang peranan penting dalam hal ini, para pelajar jadi terlalu asyik dengan dunianya sendiri, berkat kemajuan teknologi yang semakin canggih. Internet dan berbagai macam teknologi yang berada dalam genggaman tangannya, membuat mereka semakin malas membaca buku, bahkan hanya untuk sekedar membuka buku. Karena tidak belajar inilah, mana mungkin mereka bisa mengerjakan soal-soal ujian, maka dari itu menyontek lah jalan pintasnya.

Faktor-faktor lain penyebab budaya menyontek adalah hilangnya nilai-nilai kejujuran pada sebagian besar dari mereka, yang mereka pikirkan hanya bagaimana caranya untuk mendapatkan nilai bagus, tidak remedial, tanpa peduli dengan dosa dari menyontek itu sendiri. Selain itu pelajaran yang terlalu sulit, materi yang terlalu banyak, maupun yang terlalu banyak hafalannya yang sebenarnya tidak begitu penting, membuat mereka mencari jalan pintas dengan menyontek. Tuntutan guru maupun kurikulum yang terlalu “perfect“ dalam mengerjakan tugas tanpa memperhatikan kemampuan siswa atau tanpa menerangkan dengan jelas terlebih dahulu tentang tugas tersebut, maupun guru yang kurang bisa mengajar, membuat mereka semakin menjadi-jadi dalam menyalin atau meng-copy tugas temannya, copy-paste dari internet, maupun bekerjasama dikala ujian berlangsung.

Pelajaran atau soal yang terlalu sulit yang bahkan tidak ada di dalam buku, seakan akan “memaksa“ para pelajar untuk menyontek. Begitu pula materi yang terlalu banyak atau terlalu banyak hafalannya yang sebenarnya tidak begitu penting, apalagi jika guru tidak bisa atau kurang bisa mengajar, karena tidak terlalu menguasai materi itu sendiri. Ada juga guru yang “masa bodo“ alias seadanya saja dalam mengajar, dan tidak bisa mendidik muridnya yang kurang pintar, semakin mendorong para siswanya untuk menyontek, maupun bekerjasama di kala ujian.

Kebiasaan menyontek inilah yang kemudian membentuk karakter mayoritas pelajar Indonesia, mereka takut salah, mereka takut nilai jelek, dan lain sebagainya. Kemalasan adalah faktor yang paling mendasar, tapi bukankah banyak faktor selain itu yang membuat mereka menerapkan budaya seperti itu? Dan jika tidak diberantas, budaya itu akan mendarah daging kepada generasi-generasi pelajar berikutnya. Maka dari itu, menurut saya, alangkah baiknya jika guru tidak serta merta menyalahkan muridnya atas kebiasaan menyontek mereka. Bantu dan bimbing mereka untuk memperbaiki diri agar dapat berlaku jujur dalam menuntut ilmu.


Cr:  Tugas teks eksplanasi bahasa Indonesia

No comments:

Post a Comment