Fiqhislam.com - Pada suatu hari, seorang intelektual dan sastrawan asal Inggris,
Sir Rowland George Allanson, menyaksikan kaum muslimin di Pakistan sedang
berpuasa. Ketika itu kebetulan sedang musim panas yang sangat terik.
“Sungguh gila orang-orang ini,” bathinnya.
“Di panas terik seperti ini mereka tidak minum dan tidak makan.”
Setelah menyaksikan mereka yang berpuasa
ternyata bukannya lemah, tapi malah tampak lebih segar dan bahagia,
tergeraklah hatinya ingin mencoba merasakan nikmatnya berpuasa.
Maka, ia pun mulai berpuasa, bukan
karena iman, melainkan sekadar coba-coba belaka. Pada hari pertama dan kedua,
ia merasakan kepayahan yang luar biasa: tangan dan kakinya gemetaran.
Ketika meneruskan berpuasa sampai hari
ketiga, ia mulai terbiasa. Dan pada hari keempat ia sudah merasakan
kenikmatan berpuasa. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya jernih, terbebas dari
rangsangan dan keinginan aneh-aneh.
Karena penasaran dengan ajaran puasa
ini, ia pun menyelidiki hakikat puasa sebagaimana diajarkan Islam. Sebagai
ilmuwan, ia tak puas jika tidak mempelajari sesuatu sampai tuntas. Maka ia
pun mempelajari dan meneliti Al-Quran.
Pada akhirnya, kepuasannya sebagai
ilmuwan terpenuhi: ia menemukan kebenaran sejati. Hidayah Allah SWT pun
menetes ke dalam qalbunya, hatinya melonjak bahagia. “Inilah agama yang
selama ini aku cari-cari,” katanya.
Selang beberapa waktu kemudian, tepatnya
16 November 1913, ia pun membaca dua kalimah syahadat, dan mengganti namanya
menjadi “Syaikh Rahmatullah Al-Farooq”, sementara panggilan sehari-harinya
“Lord Headly AlFarooq”.
Pengetahuan dan kekagumannya terhadap
Islam kemudian ia tuangkan dalam sebuah buku yang laris, A Western
Awakening to Islam (Fajar Kebangkitan Barat Menyambut Islam). [yy/islampos.com]
cr: fiqhislam.com
|
No comments:
Post a Comment