Hampir
tiap hari kita mendengar analisis, ungkapan, kesimpulan, persepsi-persepsi
dari ilmuwan, cendekiawan dan politikus Barat tentang Islam. Dari kacamata
Barat, diingkari atau tidak, citra Islam terasosiasi tidak baik. Jarang, ada
seseorang yang mampu menggambarkan dialektika dunia Barat dan dunia Islam,
tanpa terjebak di lubang prasangka, curiga, sinisme, atau kebencian.
Dan puji Tuhan. Tidak seperti yang lain, seorang
politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di
parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, telah membaca Quran. Juga tidak seperti
yang lain, ia telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya pada banyak perjalanan
di dunia islam: Irak, Iran, Libya, Sudan sampai Afghanistan.
Seorang politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat)
yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, telah membaca
Quran. Setelah membaca, mengamati dan berpikir, Todenhöfer menulis.
Hasilnya: sebuah buku “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk
Islam – Sepuluh Tesis Anti Kebencian”), yang terbit di akhir tahun 2011.
Berikut ringkasannya:
Barat Lebih Brutal dari Dunia Islam
Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.
Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.
Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam
invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta
penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban
terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu
anggota keluarganya.
Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun
negara islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan
jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar
dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan
beberapa negara-negara Barat.
Mempromosikan Anti-Terorisme, Melahirkan Terorisme
Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektiv, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru. “Seorang pemuda muslim,” tulis Todenhöfer, “yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris.”
Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektiv, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru. “Seorang pemuda muslim,” tulis Todenhöfer, “yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris.”
Beruntung saja, sebagian besar pemuda islam tidak
terpancing. Mereka memilih jalan yang berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya,
Marokko, dan negara-negara muslim lainnya, mereka menjawab ketidak-adilan yang
menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan teriakan kebebasan, bukan teror dan
kekerasan.
Terorisme: Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam
Pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme: “Tidak setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.
Pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme: “Tidak setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.
Data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol,
menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya
berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun
sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009,
hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun
2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.
Hukum Internasional untuk Semua
Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500 korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir?
Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500 korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir?
Lebih jauh, Todenhöfer bertanya kritis: “mengapa elite
Barat, tidak pernah sekalipun menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair
ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Irak? Apakah
hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat?“
Perang, bukan jawaban untuk aksi-aksi terorisme.
Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak mengenalnya. Teroris yang membunuh
orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang kebebasan, bukan pahlawan, bukan
pula syuhada. Mereka mengkhianati agama mereka. Mereka adalah pembunuh.
Muslim, Toleransi dan “Perang Suci“
Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.
Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.
Islam tidak mengenal kata suci dalam kaitannya dengan
perang. Jihad bermakna sungguh-sungguh di jalan Tuhan. Tidak ada satu tempat
pun di Quran yang memaknakan jihad dengan perang suci. Karena perang tidak
pernah suci, dan kesucian hanya ada di jalan perdamaian.
Kontekstual Quran dan Islam-Teroris
Permasalahan besar dalam perdebatan Quran di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.
Permasalahan besar dalam perdebatan Quran di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.
Sebagian besar mereka tidak lagi rasional dan ilmiah.
Hanya mengutip beberapa tekstual yang mengesankan islam pro “perang” tanpa
pernah mau tahu konteksnya. Padahal pesan-pesan Quran yang dikesankan seperti
itu, spesifik diterima Muhammad, dalam konteks perlawanan antara penduduk
Mekkah dan Madinah, waktu itu.
Seperti Musa dan Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada
situasi dunia yang sedang vakum, apalagi damai. Mereka hadir pada saat
moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan perlawanan. Adalah sangat
lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang” itu bisa ditemukan di
Quran, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian
Baru.
Secara semantis, diksi “Islam-teroris”,
“Kristen-teroris” atau “Yahudi-teroris” adalah sebuah penyesatan bahasa.
Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen setan, tidak boleh
dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan. Memang benar, di dalam Islam,
Kristen, atau Yahudi ada ideologi teror – tapi bukan ajaran agamanya. Ideologi
ini tidak mengantarkan mereka ke surga, tapi ke neraka.
Fakta atau fake ?
Kalimat andalan kritikus anti-Islam di barat: „siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!” Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak muslim di Barat).
Kalimat andalan kritikus anti-Islam di barat: „siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!” Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak muslim di Barat).
Barat megidentifikasi jilbab sebagai simbol
pengekangan dan ketertindasan. Dari survey resmi, wanita-wanita pemakai jilbab,
yang begitu dipedulikan barat itu, justru berkata bukan (atas kesadaran
pribadi). Sinisme jilbab, sebagian besar justru datang dari mereka yang tidak
berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak
asasi. Tidak jauh berbeda, dari prosesi pemaksaan untuk melepasnya.
Barat menuduh perempuan-perempuan islam tidak
berpendidikan. Fakta dari dunia islam menjawab lain. Secara statistis,
perempuan di negara-negara mayoritas islam, justru lebih berpendidikan
dibanding Barat: 30% Profesor di Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya
hanya sekitar 20%. Lebih dari 60% mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni
Emirat Arab, sudah semenjak tahun 2007, mahasiswa perempuan menginjak angka
yang sulit dipercaya: 77%.
Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang Kristen
Tidak ada seorang bayi pun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.
Tidak ada seorang bayi pun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.
Tidak jarang kita dengar politikus dan aktivis Barat,
demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian terhadap Islam. Frank Graham,
penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama iblis dan sihir”.
Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam sebagai “agama fasis”. Thilo
Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis: “secara genetis, anak-anak dari
keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat kecerdasan rata-rata.”
Bayangkan sejenak, jika Frank Graham, Greet Wilders,
dan Thilo Sarrazin mengganti objek tesis-nya bukan kepada “Islam”, tetapi
menjadi “Yahudi” atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai
kemarahan yang dahsyat? Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik
dan rassist terhadap Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi
sesuatu yang tabu? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.
Muslim Melawan Teror
Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.
Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.
Tidak seperti politikus umumnya, Muhammad, bukan
seorang reaksioner. Dia adalah seorang revolusioner, berani berpikir dan berani
mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa Muhammad bukanlah agama stagnan,
apalagi regresif, tetapi pembaruan dan perubahan. Muhammad berjuang untuk
perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin dan orang lemah. Dia mengangkat
hak-hak kaum perempuan, yang di periode sebelumnya nyaris tidak ada.
Muhammad bukan seorang fanatik atau seorang ekstrimis.
Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang kala itu terjebak pada belenggu
politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya yang murni, agama Ibrahim, persis
seperti yang disuarakan Musa dan Isa.
Terorisme, yang berada di sekelumit dunia Islam pada
hari ini adalah distorsi ajaran Muhammad. Ini adalah kejahatan melawan Islam.
Dunia Islam tidak boleh membiarkan citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14
abad yang lalu, dihancurkan seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam
perlu memerangi ideologi terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi
berhala-berhala dari periode pra-Islam.
Politik Bukan Perang
Kalimat bijak pernah mengajarkan: “ketika kamu tidak bisa menaklukan musuhmu, peluk dia!”
Kalimat bijak pernah mengajarkan: “ketika kamu tidak bisa menaklukan musuhmu, peluk dia!”
Masalah kompleks di Timur tengah, hanya bisa
diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang. Barat harus membuka
pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat harus membuka ruang
bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara Arab. Kesatuan dan
stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak berdiri di atas
invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh visi.
Sebuah visi akan sebuah dunia, yang setiap negara di
dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan yang tanpa diskriminasi. Politik
anti-diskriminasi yang dibangun di atas keadilan dan kebebasan, bukan perang,
apalagi penindasan.*** (http://media.kompasiana.com)
_________________
Sultan Haidar Shamian,
mahasiswa (25) kelahiran Indonesia yang saat ini berdomisili di Jerman. Selain
aktif di berbagai organisasi muslim dan kemahasiswaan di Jerman juga merupakan
aktivis kemanusiaan bersama MER-C Jerman. Dunia menulis dan Jurnalistik telah
menjadi bagian kehidupannya semenjak kecil. Timur tengah, politik, pendidikan,
islam, kemanusiaan dan lingkungan adalah tema-tema besar yang terus
menginspirasi dunia menulisnya.[]
cr: moeflich.wordpress.com
No comments:
Post a Comment